Diterjemahkan oleh Farid Nu’man dari Kitab Rawa’i al Bayan tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, karya Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni, Juz II, hal. 328-340 (tafsir Surat As Saba: 10-14). Cet. 1, 1422H/2001M, Darul Kutub al Islamiyah
Hukum pertama: Apakah patung-patung dibolehkan dalam syariat (hukum agama) pada masa Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam?
Menurut zahir (teks) ayat yang mulia, firman Allah Ta’ala: “Mereka (para jin) membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya berupa gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, ….dst (QS. As Saba (34): 13)
Ayat ini menunjukkan kehalalan patung-patung dan kebolehannya menurut syariat pada zaman Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam. Al Qur’anul Karim menjelaskan tentang anugerah AllahTa’ala atas Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, bahwa bangsa jin ditundukkan baginya untuk melayani sesuai kemauannya.
Semua ini, disebutkan secara khusus sebagai kebaikan, menunjukkan kebolehannya dan merupakan ijin Allah untuk menggunakannya (pada zaman Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam –pent). Dari ayat tersebut, para ulama memiliki beberapa pendapat, secara global adalah sebagai berikut:
1. Patung yang diisyarakatkan ayat ini adalah mubah (boleh) menurut syariat zaman Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, namun syariat Islam (zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) telah menghapus (nasakh) kebolehannya. Telah diketahui bahwa syariat manusia zaman sebelum kita juga menjadi syariat kita, jika tidak dihapus. Ternyata kita telah temukan penghapusan itu yang menunjukkan bahwa patung-patung adalah haram secara qath’i (pasti) menurut syariat kita (saat ini).
2. Sesungguhnya patung pada masa Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam bukanlah patung yang memiliki ruh (nyawa) seperti manusia, burung, atau hewan lain, melainkan patung yang tidak bernyawa seperti pohon-pohon, lautan, dan pemandangan alam. Maka, syariat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam sebenarnya sesuai dengan syariat kita sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti, Insya Allah Ta’ala.
Hukum kedua: Apa hukum patung dan gambar menurut syariat Islam?
Al Qur’an telah mengabarkan tentang patung dan mencela orang-orang yang berdiam memandangnya. Allah Ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي
أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu berdiam (i’tikaf) kepadanya?" (QS. Al Anbiya (21): 52)
Allah Ta’ala juga mencela orang-orang yang menjadikan berhala (baik dari batu atau kayu) sebagai sesembahan, “Apakah kalian menyembah apa-apa yang kalian ciptakan sendiri?”
Dalam Al Qur’an terdapat kisah terkenal, tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang menghancurkan berhala-berhala. Telah sampai (keterangan) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menghancurkan berhala-berhala di dalam Ka’bah dan juga di Shafa dan Marwa.
Islam adalah agama tauhid, memusuhi segala bentuk syirik. Dalam Islam tidak ada dosa yang lebih besar dibanding syirik. Oleh karena itu Islam memberikan sanksi yang sangat berat bagi paganisme (paham keberhalaan) dan penyembahan kepada berhala. Syariat Islam mengharamkan patung-patung, karena berpotensi mengarah kepada kemungkaran keji tersebut.
Sunnah Nabi yang suci telah datang mengabarkan tentang lukisan (gambar) dan pelukis, isinya mencela dan melarang lukisan. Karena itu, telah pasti dengannya, bahwa Islam mengharamkan patung dan lukisan, dengan keharaman yang pasti dan meyakinkan.
Banyak hadits-hadits Nabi yang menunjukkan keharamannya, sampai-sampai pada tingkat mutawatir, saya (Syaikh Ali Ash Shabuni) akan memaparkan sebagian saja hadits-hadits tersebut.
Dalil-dalil pasti atas haramnya lukisan
- Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang serupa dengan makhluk Allah.”
- Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ash Habussunan (para pengarang kitab Sunan) meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan di azab di hari kiamat nanti.” Kepada mereka diperintahkan, “Hidupkan apa-apa yang engkau ciptakan!”
- Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Zur’ah, katanya: Aku masuk bersama Abu Hurairah ke rumah Marwan bin al Hakam, ia (Abu Hurairah) melihat di dalamnya ada lukisan di dinding. Berkatalah Abu Hurairah: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman; ‘Dan siapakah yang lebih zalim dari orang-orang yang menciptakan seperti ciptaanKu, maka hendaklah mereka menciptakan biji jagung, atau biji-bijian, atau gandum.’
- Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam an Nasa’i, meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa ada laki-laki yang berkata kepadanya: “Sesungguhnya akulah yang menggambar ini, berikanlah fatwamu untukku tentang masalah ini.” Ibnu Abbas berkata kepadanya: “Mendekatlah kepadaku.” Kemudian orang itu mendekat dan tangan Ibnu Abbas menyentuh kepalanya, dan Ibnu Abbas berkata: “Aku kabarkan kepadamu apa-apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aku dengar beliau bersabda: “Setiap penggambar adalah di neraka, dijadikan untuknya jiwa pada setiap gambar yang dibuatnya. Maka ia akan diazab di jahanam.” Berkata Ibnu Abbas: “Maka, jika engkau ingin menggambar, maka gambarlah pepohonan, atau apa-apa yang tidak memiliki ruh.”
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas juga: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang membuat gambar maka Allah akan mengazabnya hingga ditiupkan ruh pada gambar itu, dan tidaklah gambar itu (mampu) ditiupkan ruh di dalamnya selamanya.” Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya: “Jika engkau ingin membuat, maka buatlah pohon-pohon ini, dan segala sesuatu yang di dalamnya tidak memiliki ruh.” - Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ash Habussunan, meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa ia membeli bantal kecil yang memiliki gambar, maka ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihatnya dia berdiri di depan pintu dan tidak masuk (ke rumah). ‘Aisyah berkata: “Aku tahu di wajahnya ada ketidaksukaan.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku bertobat kepada Allah dan RasulNya, apa salah saya?” Rasulullah bertanya: “Bantal apa ini?” Aku menjawab: “Aku membelinya untukmu agar engkau duduk di atasnya dan bersandar dengannya.” Ia bersabda: “Sungguh para pembuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat nanti, lalu dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkan apa-apa yang engkau ciptakan!” dan ia bersabda: “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar, malaikat tidak akan memasukinya.”
- Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari Abu Hiyaj al Asady, ia berkata: Berkata kepadaku Ali Radhiallahu ‘Anhu: “Maukah kau aku sampaikan apa-apa yang telah Rasulullah sampaikan kepadaku? (yaitu) Jauhilah gambar-gambar kecuali engkau menghapusnya, janganlah memuliakan kuburan kecuali engkau meratakannya.”
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Imam Abu Daud, dan Imam an Nasa’i, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha ia berkata: “Nabi keluar dalam peperangan, lalu aku mengambil namath (kain bergambar yang dicelup beragam warna), aku tutupi pintu dengannya. Ketika ia pulang, ia melihatnya, dan aku mengetahui adanya ketidaksukaan pada wajahnya, ia menariknya hingga terkoyak, dan bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk tunduk kepada batu dan tanah!” ‘Aisyah berkata: “Maka aku potong kain itu, lalu aku jadikan dua bantal dan sabut (lap – keset), aku tidak melihat ia mencelaku karena itu.”
- Imam Bukhari, Imam Muslim. Dan Imam an Nasa’i meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, ia berkata: ketika beberapa isteri Nabi mengadu tentang gereja Nasrani, di dalamnya terdapat lukisan Mariah (Bunda Maria). Saat itu Umu Salamah dan Umu Habibah habis mengunjungi negeri habasyah (etiopia). Mereka bercerita tentang keindahannya dan gambar-gambarnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kepalanya dan berkata: “Mereka itulah jika ada orang shalih yang wafat, mereka membangun kuburnya sebagai tempat beribadah, kemudian mereka membuat gambar di dalamnya, mereka adalah seburuk-buruknya makhluk Allah.”
Saya (Ali Ash Shabuni) katakan: Nash-nash (teks syariat) seperti ini banyak jumlahnya, menunjukkan kepastian haramnya lukisan, dan seluruh kajian Islam yang mempelajari ilmu yang membawa keyakinkan menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharamkan gambar, menyimpannya, dan memperjualbelikannya, jika melihatnya harus dihancurkan. Telah datang ancaman yang keras buat para pembuat gambar.
Para imam madzhab sepakat atas keharamannya tanpa perselisihan sama sekali. Untuk sebagain ulama ada yang memberikan pengecualian tentang adanya gambar (yang dibolehkan) nanti akan kami sebutkan, juga akan kami sebutkan ‘ilat (alasan) pengharaman, setelah itu kita mambahas hukum fotografi dan pendapat para ulama tentang itu, berdasarkan nash-nash (teks syariat) yang mulia.
‘Ilat (alasan) Pengharaman Gambar
Tampak bagi kita, dalil-dalil kenabian yang telah lalu, bahwa alasan diharamkannya patung dan gambar adalah bentuk penyerupaan dan penyamaan terhadap makhluk Allah Ta’ala. Hal yang menunjukkan itu adalah:
1. Hadits: “Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang membuat penyerupaan terhadap makhluk Allah.”
- Hadits: “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan diazab, diperintahkan kepada mereka,’hidupkan apa-apa yang engkau ciptakan.’ “
- Hadits: “Dan Siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang membuat ciptaan seperti ciptaanKu ….., maka hendaklah ia membuat gandum, atau biji-bijian.”
Jadi, alasannya adalah tasyabbuh (penyerupaan) terhadap makhluk Allah, dan menyamakan dengan apa yang dibuat Allah Jalla wa ‘Ala.
Hikmah pengharaman gambar adalah menjauhkan diri dari fenomena watsaniyah (paganisme - keberhalaan), melindungi aqidah dari bahaya syirik dan penyembahan terhadap berhala. Tidaklah masuk paham keberhalaan pada umat terdahulu, melainkan karena gambar dan patung sebagaimana yang diterangkan oleh hadits dari Umu Salamah dan Umu Habibah yang lalu (hadits no. 8). Di dalamnya ada sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Mereka itulah jika ada orang shalih wafat, mereka membangun kuburnya sebagai tempat ibadah, kemudian mereka membuat gambarnya di dalamnya, mereka adalah seburuk-buruknya makhluk Allah di hari kiamat nanti.”
Telah diriwayatkan, bahwa berhala-berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh (yaitu berhala Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’anul Karim, dahulu mereka adalah nama-nama orang shalih pada zaman kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam. Ketika orang-orang shalih itu wafat, kaum tersebut membuat gambar mereka sebagai upaya mengingat mereka dan amal-amalnya, lalu setelah selesai dibuat gambar, mereka menyembahnya.
Ats Tsa’laby menyebutkan dari Ibnu Abbas tentang ayat: Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr” (QS. Nuh (71): 23), menurut Ibnu Abbas, maksud ayat ini adalah, “Berhala-berhala itu adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka telah wafat, syetan mengilhamkan kepada kaum orang-orang shalih tersebut agar memuliakan orang-orang shalih tersebut dalam majelis-majelis yang mereka adakan. Mereka menamakan berhala dengan nama-nama orang shalih tersebut, dan mereka selalu mengingatnya, mereka menjalankan bisikan syetan itu, maka tidaklah berhala itu disembah hingga mereka binasa. Maka hilanglah ilmu dan disembahlah selain Allah.” (Tafsir Al Qurthuby, Juz 18, hal. 308)
Abu Bakar Ibnul ‘Araby berkata: “Dan yang menyebabkan wajibnya pelarangan dalam syariat kita –wallahu a’lam- adalah apa-apa yang terjadi pada orang-orang Arab, berupa penyembahan terhadap berhala (baik dari batu dan kayu), dahulu mereka membuat gambar lalu menyembahnya, maka Allah menetapkan upaya pencegahan demi menjaga pintu (aqidah).”
Ibnul Araby juga berkata: “Aku telah saksikan di pelabuhan Iskandariah (Alexandria-Mesir), jika ada orang yang wafat mereka menggambar orang itu dari kayu (maksudnya dibuat patung –pent) dengan rupa yang amat bagus, dan mereka meletakkan pada bagian dari rumahnya. Jika ia laki-laki, mereka menghiasi dengan perhiasan yang megah, jika ia perempuan mereka juga meriasnya, lalu mereka menutupnya dengan pintu. Jika di antara mereka sedang dilanda kesulitan atau hal yang dibenci, maka pintu tersebut dibuka dan mereka bersimpuh di depan patung kayu tersebut, menangis dan berdoa kepadanya, hingga mereka menumpahkan air mata dan menampakkan kesedihan yang luar biasa. Setelah itu pintu ditutup kembali lalu mereka pergi. Sungguh, peribadatan mereka terhadap berhala telah berlangsung sejak lama.” (Ahkamul Qur’an, karya Ibnul Araby, Juz 3. Lihat Juga Ahkamul Qur’an karya As Sayis, Juz 3, hal. 60)
Macam-macam Gambar
Para ulama membagi gambar menjadi dua bagian:
- Gambar yang memiliki bayangan, terbuat dari batu kapur, tembaga, batu atau lainnya. Ini dinamakan tamaatsiil - التماثيل(patung).
- Gambar yang tidak memiliki bayangan, yang digambar pada kertas, diukir pada dinding, permadani dan sarung bantal, dan lain-lain. Ini dinamakan shuwar الصور - (gambar/lukisan)
Jadi, patung memiliki bayangan sedangkan lukisan tidak. Setiap patung adalah gambar, tetapi tidak setiap gambar adalah patung.
Ibnul Manzhur berkata dalam Lisanul ‘Arab: “Timtsaal-التمثال (patung) adalah shurah (gambar/lukisan), jamaknya adalah tamaatsiil, dan bayangan bagi segala sesuatu adalah bukti patung baginya. Timtsal adalah nama sesuatu yang dibuat menyerupai makhluk Allah. Asalnya adalah dari penyerupaan sesuatu dengan sesuatu, yang ukurannya sesuai dengan yang diserupai, sehingga dengan penyerupaan itu menjadi mirip dengannya. Maka, penyerupaan itu dinamakan patung.”
Berkata Imam al Qurthuby: “Firman Allah Ta’ala, “…wa tamaatsiil ..” ( ..dan patung-patung..), jamak dari timtsaal, adalah segala sesuatu yang digambar serupa hewan atau selainnya. Disebutkan: bisa berasal dari kaca, tembaga, batu pualam, lalu mereka menganggap itu adalah rupa para nabi dan ulama. Mereka (pada masa Sualiman ‘Alaihissalam –pent) membuatnya di dalam masjid-masjid agar manusia melihatnya, sehingga ibadah mereka bertambah serius.
Jika ditanya: “Bagaimana hal itu dibolehkan pada masa lalu, sementara masa kita dilarang?”
Jawab: “Demikian itu memang dibolehkan dalam syariat Nabi Sulaiman, namun telah dihapus oleh syariat kita”
Patung dan Gambar seperti apa yang Diharamkan?
Patung dan gambar yang diharamkan adalah sebagai berikut:
1. Patung berbentuk tubuh yang memiliki ruh (nyawa) seperti patung manusia dan hewan. Ini haram menurut ijma’ (konsensus/kesepakatan). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing, gambar, patung, dan orang junub.” (HR. Imam Bukhari)
2. Gambar yang dibuat oleh tangan (melukis), berupa bentuk yang memiliki ruh. Ini juga disepakati keharamannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya pembuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat. Diperintahkan kepada mereka, ‘Hidupkan apa-apa yang kau ciptakan.’ ” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i)
3. Gambar yang bentuknya lengkap (sempurna), tidak ada yang kurang kecuali ruh saja, ini juga disepakati haramnya berdasarkan hadits-hadits sebelumnya, seperti: “Diperintahkan untuk meniupkan (memberikan) ruh pada gambar tersebut, dan tidaklah mampu untuk meniupkannya.” Juga hadits lain dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku, saat itu aku mengenakan kain lembut yang bergambar, maka raut mukanya berubah, kemudian ia mengambilnya dan merobeknya. Lalu berkata, ‘Sesungguhnya manusia yang paling keras azabnya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang membuat hal yang serupa dengan makhluk Allah.’ “ ‘Aisyah berkata: “Maka aku potong kain itu dan aku jadikan dua bantal, dan Rasulullah bersandar di atasnya.”
“Kemudian ia mengambil dan merobeknya” menunjukkan keharaman gambar. Lalu, dipotong oleh ‘Aisyah menjadi dua bantal sehingga gambar menjadi terbagi dan tidak sempurna, ini menunjukkan kebolehannya. Dari sinilah para ulama menyimpulkan, bahwa gambar jika tidak lengkap (sempurna) tidaklah haram.
4. Gambar-gambar yang diagungkan, digantung (pajang-pamer) agar dilihat-lihat, maka ini juga haram tanpa diperselisihkan. Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa dahulu ia punya kain yang memiliki gambar burung, jika ada orang masuk pasti akan melihatnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jauhkan ini dariku, sebab tiap aku melihatnya membuat aku ingat dengan dunia.” (HR. Imam Muslim, lihat juga Tafsir al Qurthuby dan Ahkamul Qur’an-nya Ibnul ‘Araby)
Hadits dari Abu Thalhah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa ‘Aisyah berkata: “Nabi keluar pada hari peperangan, lalu aku mengambil namath (kain bergambar yang dicelupi banyak warna), aku tutupi pintu dengannya. Ketika ia pulang, ia melihatnya, dan aku mengetahui adanya ketidaksukaan pada wajahnya, ia menariknya hingga terkoyak, dan bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk tunduk kepada batu dan tanah!” ‘Aisyah berkata: “Maka aku potong kain itu, lalu aku jadikan dua bantal dan sabut (lap – keset), aku tidak melihat ia mencelaku karena itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’I, lihat Jam’ul Fawaaid, juz 1, hal. 825)
Patung dan Gambar yang Dibolehkan
1. Setiap Patung atau gambar yang tidak bernyawa, seperti bentuk bangunan, sungai, pepohonan, pemandangan alam. Dan seleruh yang tidak memiliki ruh (nyawa). Maka tidak haram menggambarkannya, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu terdahulu ketika ia ditanya seseorang, “Sesungguhnya akulah yang menggambar ini, berikan fatwamu untukku tentang hal ini?…” lalu Ibnu Abbas memberitahukan hadits nabi, lalu ia berkata: “Jika engkau ingin menggambar, gambarlah pepohonan, dan apa-apa yang tidak memiliki ruh.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
2. Setiap gambar yang tidak utuh, seperti salah satu tangan misalnya, atau mata, atau kaki, maka itu tidak haram karena itu bukanlah gambaran makhluk yang sempurna. Ini sesuai hadits dari ‘Aisyah, katanya: “Aku memotongnya, lalu aku jadikan dua bantal, aku tidak melihat ia mencelaku karena itu.”
3. Juga dikecualikan mainan (boneka) anak perempuan (la’ibul banaat). Telah ada berita yang pasti dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya saat usianya baru tujuh tahun, lalu ia membawa ‘Aisyah ke rumahnya saat ‘Aisyah berusia sembilan tahun, dan saat itu ia masih bersama bonekanya. Rasulullah wafat saat usianya baru delapan belas tahun. (HR. Muslim, lihat juga Jam’ul Fawaaid)
Dari ‘Aisyah dia berkata, “Aku bermain bersama anak-anak perempuan di dekat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat itu aku memiliki sahabat yang bermain bersamaku, jika beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke rumah, sahabat-sahabatku malu kepadanya dan pergi, lalu beliau memangil mereka dan mendatangkan mereka untukku agar bermain bersamaku lagi.”
Berkata para ulama: Sesungguhnya dibolehkannya boneka anak-anak karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu kebutuhan anak perempuan agar ia memiliki pengalaman dalam mengasuh anak-anak, namun tidak boleh terus menerus sebab dibolehkannya karena adanya kebutuhan tadi. Serupa dengan ini adalah bentuk yang terbuat dari permen dan adonan kue. Ini adalah keringanan (dispensasi) dalam masalah ini. Wallahu A’lam
Pandangan Ulama Tentang Gambar
Berkata Al Qadhy Ibnul ‘Araby, “Hadits telah menunjukkan bahwa gambar itu terlarang, kemudian datang hadits (kecuali apa-apa yang tergambar pada pakaian/kain) sebagai keringanan untuk gambar-gambar tertentu. Lalu, telah kokoh kebencian terhadap gambar sebagaimana sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada ‘Aisyah tentang pakaian yang bergambar: “Jauhkanlah ini dariku, sesungguhnya ketika aku melihatnya aku teringat dengan dunia.” Kemudian Rasulullah mengoyaknya, dan ‘Aisyah memotongnya menjadi dua bantal sehingga gambarnya berubah, tidak lagi seperti semula. Jadi, dibolehkannya gambar jika gambar tersebut tidak sempurna bentuknya, jika masih sempurna maka tidak boleh. Sebagaimana ucapan ‘Aisyah tentang kain bergambar, “Aku belikan untukmu agar kau duduk di atasnya, dan bersandar kepadanya.” Maka Rasulullah melarangnya dan menerangkan ancaman, dan menjelaskan hadits tentang shalat di depan gambar bahwa hal itu boleh jika gambar di pakaian, kemudian ia hapus larangan itu. Demikianlah keputusan dalam masalah ini.” (Ahkamul Qur’an, Juz 3)
Berkata Abu Hayyan, “Menggambar diharamkan dalam syariat kita. Telah datang ancaman keras bagi para penggambar, dan bagi sebagian ulama memang ada yang mengecualikan pada gambar tertentu (tentang kebolehannya). Dalam hadits riwayat Sahl bin Hanif: Allah melaknat para penggambar, (dalam riwayat ini) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memberikan pengecualian. Dihikayatkan ada kaum yang membolehkannya. Berkata Ibnu ‘Athiyah: Aku tidak hafal, siapa para imam yang membolehkannya.” (Abu Hayyan, Al Bahrul Muhith, Juz.7, hal. 265)
Berkata Al Alusi, “Yang benar adalah haramnya gambar hewan secara utuh tidak terjadi pada syariat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, (keharaman) itu terjadi hanya disyariat kita. Tidak ada bedanya bagi kita, antara gambar yang memiliki bayangan atau yang tidak seperti gambar kuda yang dirukir pada papan atau tembok. Telah datang ancaman keras untuk para penggambar. Maka, jangan alihkan kepada maksud lain, dan tidak dibenarkan berhujjah (argumentasi) dengan ayat (tentang Nabi Sulaiman) untuk membolehkannya.” (Al Alusi, Ruhul Ma’any, Juz. 22, hal. 119)
Berkata Al Qurthuby, “Rasulullah melaknat para penggambar tanpa kecuali. Sabdanya: Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat nanti. Diperintahkan kepada mereka, ‘Hidupkan apa-apa yang kau ciptakan!’ “
Dalam hadits riwayat Imam at Tirmidzi, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Leher akan keluar dari api neraka pada hari kiamat nanti, padanya ada dua mata yang melihat, dua telinga yang mendengar, dan lidah yang berbicara berkata, ‘Aku berlepas diri dari tiga hal, yaitu; kepada setiap pemaksa yang keras kepala (otoriter), kepada orang yang berdoa kepada Allah dan juga berdoa kepada yang lainnya, dan kepada para penggambar,’ “ (HR. Imam at Tirmidzi, hadits hasan shahih gharib)
Imam Bukhari meriwayatkan, “Sekeras-kerasnya manusia yang akan mendapat siksa pada hari kiamat nanti adalah para penggambar.” Hadits ini menunjukkan larangan menggambar, seperti apa pun juga. (Tafsir al Qurthuby, Juz 14, hal. 274)
Berkata Imam an Nawawi, “Sesungguhnya bolehnya gambar, hanyalah jika tidak memiliki bayangan, yaitu berupa gambar yang rata dan tersembunyi, atau yang dihinakan seperti digunakan menjadi bantal (karena diduduki-pent).”
Berkata al ‘Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari, “Kesimpulan tentang gambar adalah jika gambar berbentuk jism (anggota tubuh-patung tiga dimensi -pent) maka diharamkan menurut ijma’ (kesepakatan ulama), sedangkan jika gambar pada pakaian (seperti sablon, batik, bordir –pent) , maka ada empat pendapat:
Pertama: membolehkan secara mutlak, dengan alasan hadits “kecuali gambar pada pakaian/kain.”
Kedua: melarang secara mutlak, dengan alasan makna umum hadits yang melarangnya.
Ketiga: jika gambarnya lengkap dan utuh maka itu haram, tetapi jika terpotong kepalanya, atau terpish bagian-bagian lainnya maka itu boleh. Ia (Ibnu Hajar) berkata: “Inilah pendapat yang paling benar.”
Keempat: jika ia dihinakan maka boleh, jika tidak maka tidak boleh. Dikecualikan boneka anak-anak.
Hukum Fotografi
Sebagian Ahli Fiqih generasi belekangan (muta’akhirin) berpendapat bahwa gambar foto (tashwirul syamsi) bukanlah termasuk kategori yang diharamkan, sebagaimana gambar yang dibuat oleh tangan yang diharamkan itu. Tidak ada nash nabawiyah (hadits) yang mengharamkannya. Didalamnya tidak ada unsur penyerupaan terhadap ciptaan Allah, dan hukumnya sama dengan hukum gambar di baju yang telah dikecualikan oleh nash.
Berkata Fadhilatus Syaikh as Sayis: “Anda berharap mengetahui hukum fotografi, maka kami katakan, ‘Mungkin menurut anda hukumnya sama dengan hukum gambar di pakaian/kain, dan anda telah mengetahui ada nash yang mengecualikannya. Anda juga mengatakan, ‘Sesungguhnya fotografi bukanlah menggambar, tetapi menahan (merekam-pent) gambar, sebagaimana gambar di cermin, tidak mungkin anda mengatakan yang di cermin itu adalah gambar (lukisan), dan sesungguhnya itu satu bentuk (dengan aslinya).
Apa-apa yang dibuat oleh alatut tashwir (tustel) adalah gambar sebagaimana di cermin, tujuan dari ini adalah bahwa alat tersebut menghasilkan dengan pasti bayangan nyata yang terjadi padanya (negatif film – klise), sedangkan cermin tidak seperti itu. Kemudian klise itu diletakkan pada zat asam tertentu, maka tercetaklah sejumlah gambar/foto (proses ini disebut cuci cetak-pent). Jelas ini secara hakiki bukanlah menggambar. Sebab ini sekadar upaya memperjelas dan menampakkan gambar yang sudah ada, supaya tertahan dari sinar matahari langsung (agar tidak terbakar –pent). Mereka berkata: “Sesungguhnya seluruh foto yang ada bukanlah hasil dari pemindahan (gambar) dengan perbuatan sinar dan cahaya, selamanya tidak ada larangan dalam memindahkan dan mengasamkannya, dan selamanya di dalam syariat yang luas ini foto itu dibolehkan, sebagaimana pengecualian gambar pada pakaian/kain, tidak ada dalil secara khusus yang mengharamkannya. Telah tampak bahwa manusia menjadikannya sebagai barang kebutuhan yang sangat penting bagi mereka.” (Ayatul Ahkam lis Sayis, Juz. 4, hal. 61) Aku (Ali Ash Shabuni) mengatakan, “Sesungguhnya fotografi tidaklah keluar dari prinsip larangan menggambar, tidak juga keluar dari apa-apa yang oleh ayat disebut shurah (gambar/lukisan), dan orang yang membuatnya oleh bahasa dan tradisi disebut mushawwir (pelukis). Jika pun foto tidak termasuk yang dimaksud oleh ayat yang jelas ini -lantaran ia tidak dibuat langsung oleh tangan, dan tidak ada unsur penyerupaan terhadap ciptaan Allah- namun ia tidak keluar dari keumuman maksud dari pembuatan gambar/lukisan (tashwiir). Maka hendaknya pembolehan foto dibatasi atas dasar kebutuhan mendesak (dharurah), dan karena jelas manfaatnya. Sebab, telah terjadi kerusakan besar yang dihasilkan oleh foto, sebagaimana keadaan majalah-majalah hari ini yang telah menyemburkan racunnya kepada pemuda-pemuda kita, sehingga lahirlah fitnah (bencana) dan kelalaian, di mana terpampang foto-foto bentuk tubuh wanita dan wajah-wajah mereka, dengan kepalsuan dan penampilan yang merusak agama dan akhlak. Adapun foto-foto telanjang, pemandangan yang rendah dan hina, dan rupa-rupa yang membawa fitnah (kerusakan) yang terlihat pada majalah-majalah porno, di mana kebanyakan halamannya mengandung kegilaan, maka akal tidak ragu atas keharamannya, walau gambar tersebut bukan buatan tangan secara langsung, namun kerusakan dan bencana yang dihasilkannya lebih besar dibanding lukisan dengan tangan.
Kemudian, sesungguhnya ‘Ilat (alasan) pengharaman foto bukan karena ia menyerupai dan menyamai makhluk Allah, tetapi karena adanya titik persamaan dengan jenis gambar yang telah diberi peringatan, yaitu bahwa watsaniyah (paganisme – keberhalaan) yang merasuki umat-umat terdahulu terjadi karena melalui jalan ‘gambar’. Di mana jika orang shalih mereka wafat, mereka membuat gambarnya (patung) dan mengabadikannya untuk mengingatnya dan mengikutinya. Kemudian datang generasi setelah mereka, menyembah patung tersebut. Maka apa-apa yang dilakukan manusia, menggantung foto besar yang diberi perhiasan di dinding rumah, walau sekadar untuk kenang-kenangan, dan tidak dibuat dengan tangan (bukan lukisan), ini termasuk yang tidak dibolehkan oleh syariat. Karena, nantinya berpotensi untuk mengagungkannya dan menyembahnya, sebagaimana yang dilakukan Ahli Kitab terhadap para nabi dan orang-orang shalih mereka. Maka pemutlakan kebolehan foto dengan alasan ia bukanlah melukis melainkan menahan (merekam) bayangan. Seharusnya pembolehannya terikat yaitu karena dharurat kebutuhan seperti foto identitas pribadi, dan semua hal yang berkaitan dengan maslahat dunia yang dibutuhkan manusia. Wallahu A’lam
Upaya penyamaran (syubhat) atas haramnya gambar (patung dan lukisan utuh makhluk bernyawa)
Sebagian penyeru ilmu pengetahuan, khususnya yang telah terpengaruh oleh peradaban barat, menghembuskan upaya penyamaran atas haramnya gambar, dengan maksud mengejar kesetaraan derajat dengan peradaban barat, atau meraih kemewahan dan kemegahan hawa hafsu mereka. Alasan polos yang masuk dalam benak mereka adalah bahwa gambar adalah seni yang lembut dan cita rasa yang bersih.
Syubhat pertama
Mereka menyangka bahwa adanya nash-nash yang mengharamkan gambar, karena disesuaikan kondisi da’wah Islam saat itu yang sedang melakukan perlawanan terhadap syirk dan paganisme. Pengharaman itu bertujuan agar jalan menuju paganisme terputus. Maka ketika kekhawatiran terhadap penyembahan berhala telah hilang, maka hilang pula alasan diharamkannya gambar.
Untuk menyanggah syubhat ini, cukup bagi kita mengutip ucapan Fadhilatus Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah ketika mematahkan argumen syubhat ini, dalam komentarnya terhadap hadits no. 7166 dalam kitab Al Musnad karya Imam Ahmad bin Hambal. Ia berkata:
“Diantara hujjah (argumen) mereka adalah …. Bahwa nash-nash yang mengharamkan memiliki ‘ilat (alasan) yang tidak disebut oleh syari’ (pembuat syariat –Allah) yaitu karena saat itu masih dekat dengan masa-masa penyembahan berhala. Ada pun sekarang, telah lama sekali berlalu zaman tersebut.sehingga hilanglah ‘ilat (alasan) keharaman gambar (patung), dan janganlah takut dengan kembalinya manusia kepada penyembahan berhala.
Mereka telah lupa, bahwa di depan mereka telah terjadi fenomena keberhalaan, yaitu dengan cara bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada kuburan dan orang mati, meminta perlindungan kepada mereka dari kesulitan dan kesempitan, dan sesungguhnya paganisme-keberhalaan (watsaniyah) menyusup ke dalam hati pelakunya tanpa disadari.
Sesungguhnya fatwa bodoh tersebut akan membawa dampak, negeri kita akan dipenuhi fenomena keberhalaan, patung-patung mendapatkan posisi tinggi dan memenuhi negeri, dimuliakan dan diagungkan untuk mengingatnya. Kemudian mereka berkata: “Tidak ada maksud untuk mengagungkannya.” Kemudian negara membuat –dan menyangka hal itu sebagai perilaku Islami di tengah umat Islam- perguruan (ma’had) seni rupa dan keindahan ….. perguruan yang penuh kefujuran (perbuatan buruk). Lalu para pemuda masuk ke dalamnya, baik laki-laki dan perempuan, mereka telanjang ketika berdiri, duduk, dan berbaring, dan pada seluruh posisinya ada perbuatan buruk di dalamnya. Tak ada apa pun yang menutupi tubuh mereka, lalu mereka berkata kepada kita: Inilah seni …! (Lihat Musnad Imam Ahmad, hadits no. 7166)
Syubhat Kedua
Mereka berkata: sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan haramnya gambar, adalah hadits ahad, tidak qath’i (pasti), maka tidak mungkin disandarkan kepada Islam tentang pengharaman salah satu seni ini, selama tidak ada nash qath’i yang mengharamkannya. Untuk menyanggah syubhat ini, kami katakan: ini adalah kebodohan yang jelas terhadap hukum syariat. Sesungguhnya, jika telah tsabit (kukuh – kuat) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam baik berupa ucapannya, atau perilaku, atau perbuatan, maka wajib mengambilnya sebagai hujjah (argumen), sama saja baik dengan jalan mutawatir atau ahad. Ini telah disepakati oleh para ulama. Telah diketahui bersama bahwa mayoritas ketetapan hukum syar’i ditetapkan berdasarkan hadits ahad, walau ia tidak qath’i –menurut anggapan mereka- mayoritas ketetapan syariat didirikan di atasnya. Syubhat mereka ini membuktikan tidak bersumber dari pemahaman orang yang berilmu, melainkan dari orang yang bodoh terhadap prinsip-prinsip syariah dan metode istimbath (penyimpulan hukum).
Namun anehnya, orang-orang yang berhujjah dengan argumentasi yang lemah ini -untuk menguatkan pendapat mereka- justru menggunakan hadits-hadits mungkar, lemah sanadnya, dan bodoh para periwayatnya, namun karena hadits tersebut sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka mereka berpegang kepadanya. Mereka berdebat dengan menggunakannya, yaitu perdebatan para ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu). Para ahli ushul telah membantah syubhat mereka ini, dan yang terdepan adalah al Imam Asy Syafi’i rahimahullah dengan bantahan yang telak. Mereka (para ahli ushul) menetapkan bahwa wajib berpegang pada hadits ahad jika hadits tersebut shahih, dan para ulama Islam senantiasa beramal dan berargumentasi dengan hadits ahad. Sebab, jika kita tidak menggunakannya, maka akan teranulir-lah mayoritas ketetapan hukum syariat.
Kedua, sesungguhnya nash-nash (teks syariat) tentang pengharaman gambar, ternyata telah sampai pada tingkat mutawatir (bukan ahad seperti anggapan mereka –pent), umat Islam menukilnya dari generasi ke generasi, maka tidak ada celah bagi kaum yang ragu-ragu untuk menolaknya dari sisi ini. Kami tambahkan, bahwa sesungguhnya tidaklah ditemukan pada bangsa-bangsa Islam gambar atau pahatan dalam ukuran besar. Sesungguhnya kesenian kaum muslimin berpaling dari gambar (makhluk bernyawa -pent), pembuatan patung, menuju pembuatan seni bangunan, hiasan arab, bentuk tumbuhan, dan lain-lan … semua itu disebabkan pengetahuan mereka tentang pengharaman Islam terhadap gambar. Maka, seandainya keyakinan mereka tidak menetapkan keharamannya, niscaya mereka akan berpaling kepada yang lain. Cukuplah ini untuk membantah mereka, kelompok penuduh itu.
Syubhat ketiga
Mereka menguatkan pendapat kebolehan gambar berdasarkan ayat Al Qur’an (yakni ayat tentang jin Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam -pent). Tidak sah berargumentasi dengan ayat tersebut, karena isi ayat tersebut tidak bercerita tentang syariat kita, melainkan tentang syariat terdahulu yang telah dihapus oleh syariat Islam. Ayat mulia tersebut telah kita bahas, yaitu firman Allah Ta’ala:
“Mereka (para jin) membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya berupa gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, ….dst (QS. As Saba (34): 13)
Dalam ayat ini tidak ada petunjuk tentang halalnya gambar, karena ayat ini mengabarkan tentang apa yang dilakukan oleh pasukan jin Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, tidak pula di dalamnya petunjuk tentang patung-patung yang memiliki ruh. Selain itu, ini juga syariat terdahulu, telah ada ketetapan para ulama bahwa ‘Syariat manusia sebelum kita adalah syariat kita juga, selama belum dihapus’ , dan syariat Islam telah menghapusnya (nasikh) maka tidak bisa berhujjah dengan ayat tersebut.
Ini adalah kaidah yang telah disepakati para ulama Islam. Sujud dengan maksud memberikan penghormatan kepada selain Allah Ta’ala dibolehkan pada syariat Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Namun, syariat kita telah mengharamkannya, maka tidak sah pula berhujjah dengan apa yang Allah sebutkan tentang sujudnya saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf untuk dijadikan dasar kebolehan bersujud kepada selain Allah. Syariat kita telah menghapus syariat-syariat sebelumnya, karena itulah patung-patung adalah haram dan tidak sah berhujjah dengan ayat tersebut. Wallahu A’lam.
Sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan teks hadits kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. -pent
sumber:http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/12
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih karena telah berkunjung ke sanznuya.blogspot.com tolong tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini..